A.
Hakikat
Pembelajaran Matematika
Hakikat pembelajaran matematika
adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana
lingkungan yang memungkinkan seseorang (si pelajar) melaksanakan kegiatan
belajar matematika. Pembelajaran matematika harus memberikan peluang kepada
siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika. Tujuan
matematika di SD/MI yaitu: memahami konsep matematika, keterkaitan antar konsep
dan aplikasi konsep dalam pemecahan masalah; menggunakan penalaran pada pola
dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi;
memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah; mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelaskan keadaan
atau masalah; dan memiliki sikap menghargai matematika dalam kehidupan.
B.
Teori
– Teori Pembelajaran Matematika Di SD
Dalam
pembelajaran matematika di SD, diharapkan guru dapat mengelola pembelajaran
yang memungkinkan siswa belajar secara aktif. Guru matematika yang professional
dan kompeten mempunyai wawasan landasan yang dapat dipakai dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
matematika. Wawasan itu berupa dasar – dasar teori belajar yang dapat diterapkan
untuk pengembangan dan/atau perbaikan pembelajaran matematika.
1. Teori Belajar Piaget
Jean
Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas), yaitu
kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan
memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya schemata ini.
Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi individu
dengan lingkungannya, sehingga individu yang lebih dewasa memliki struktur
kognitif yang lebih lengkap dari pada ketika ia masih kecil. Piaget bahwa
perkembangan mental setiap pribadi anak melewati empat tahap, yaitu:
1) Tahap
Sensori Motor (sejak lahir sampai dengan 2 tahun)
Bagi anak
yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisi
(gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra).
2) Tahap Pra
Operasi(2 tahun sampai dengan7 tahun)
Ini
merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit.
3) Tahap
Operasi Konkrit (7 tahun sampai dengan11 tahun)
Umumnya
anak-anak pada tahap ini telah memahami konsep kekekalan, kemampuan
mengklasifikasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang
berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversible.
4) Tahap
Operasi Formal (11 tahun dan seterusnya)
Tahap ini
merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada
tahap ini sudah mampu malakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang
abstrak.
2. Teori Belajar Bruner
Menurut Bruner (Hudoyo, 1988:56),
belajar matematika adalah belajar tentang konsep – konsep dan
struktur – struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang
dipelajari serta mencari hubungan –hubungan antara konsep – konsep
dan struktur – struktur matematika. Bruner melukiskan
anak – anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu:
1) Tahap Enaktif
Pada tahap ini, dalam belajar anak
didik menggunakan atau memanipulasi objek – objek konkret secara
langsung. Misalnya untuk memahami konsep operasi pengurangan bilangan cacah 7
– 4, anak memerlukan pengalaman mengambil/ membuang 4 benda dari
sekelompok 7 benda.
2) Tahap Ikonik
Pada tahap ini kegiatan anak didik
mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek – objek
konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objek – objek konkret
seperti langsung objek– objek konkret seperti pada tahap enaktif,
melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek – objek
yang dimaksud.
3) Tahap Simbolik
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi
simbol – simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan
objek – objek.
Dari hasil penelitian Bruner
ke sekolah – sekolah, dalam belajar matematika ada beberapa
teori yang berlaku yang disebutnya dengan dalil.
a. Dalil Penyusunan
Menurut dalil penyusunan, siswa
selalu ingin mempunyai kemampuan menguasai definisi, teorema, konsep dan
kemampuan matematis lainnya. Oleh karena itu siswa hendaknya dilatih untuk
melakukan penyusunan representasinya. Untuk menguasai suatu konsep matematis
hendaknya siswa mencoba dan melakukan sendiri kegiatan yang mengacu pada
perumusan dan penyusunan konsep tersebut. Jika dalam proses perumusan dan
penyusunan tersebut disertai bantuan objek – objek konkret, maka anak
lebih mudah untuk memahaminya, dan ide/konsep tersebut lebih tahan lama dalam
ingatannya. Untuk itu dalam pembelajaran konsep matematis, guru hendaknya
benar –benar memberi kesempatan anak untuk melaksanakan tahap enaktif.
b. Dalil Notasi
Dalil notasi menyatakan bahwa dalam
penyajian konsep matematis, notasi memegang peranan yang sangat penting.
Penggunaan notasi dalam menyatakan konsep matematis tertentu harus disesuaikan
dengan tahap perkembangan anak didik. Misalnya notasi untuk menyatakan fungsi
f(x) = x + 5, untuk anak SD dapat digunakan + = Δ + 5,
sedangkan bagi anak sekolah lebih lanjut (SLTP) dapat digunakan {(x,y) |
y = x + 5}.
c. Dalil Pengkontrasan dan Keanekaragaman
Menurut hasil penelitian
Bruner, pengkontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan
pengubahan konsep matematika dari konsep konkret menjadi konsep yang lebih
abstrak. Untuk melakukan itu diperlukan banyak contoh dan beranekaragam,
sehingga anak memahami karakteristik konsep yang dipelajari.
Contoh – contoh yang diberikan hendaknya memenuhi rumusan konsep yang
sedang dipelajari. Untuk dapat lebih memahami karakteristik konsep, juga
diperlukan contoh yang tidak memenuhi rumusan konsep.
d. Dalil Pengaitan
Dalil pengaitan menyatakan bahwa
antara konsep matematika yang satu dengan konsep yang lain mempunyai kaitan
yang erat, baik dari segi isi maupun dari segi penggunaan rumusrumus. Materi
yang satu merupakan prasyarat bagi materi yang lain, atau suatu konsep
digunakan untuk menjelaskan konsep yang lain. Misalnya rumus luas jajargenjang
merupakan materi prasyarat untuk penemuan rumus luas segitiga yang diturunkan
dari rumus luas jajargenjang. Dengan pendekatan intuitif – deduktif,
rumus isi tabung diperlukan untuk menemukan rumus isi kerucut.
3. Teori Belajar Dienes
Zoltan P. Dienes adalah
seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara – cara pengajaran
terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori pieget, dan pengembangannya
diorientasikan pada anak – anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang
dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes
berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang
struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan
mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes
mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang
disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini
mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan
sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Menurut
Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap
tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
1)
Permainan Bebas (Free Play)
Permainan
bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan
tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Dalam tahap
ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan
diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari.
2)
Permainan
yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-poladan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu.
3)
Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam
mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan
sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam
mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan
menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain.
4)
Permainan
Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu.
5)
Permainan
dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol
matematika atau melalui perumusan verbal.
6)
Permainan
dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini
siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian
merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut
4. Teori Belajar Gagne
Profesor Robert M. Gagne seorang
ahli psikologi telah menggunakan matematika sebagai medium untuk menguji dan
mengunakan teori belajar. Ia bekerja sama dengan Proyek Matematika
Universitas Meryland membahas pembelajaran matematika dalam pengembangan
Kurikulum Matematika di sekolah.
Menurut Gagne bahwa dalam belajar
matematika ada dua objek, yaitu objek langsung belajar matematika dan objek
tidak langsung dari belajar matematika. Objek langsung meliputi fakta, operasi,
konsep, dan prinsip. Sedangkan objek tidak langsung mencakup kemampuan menyelidiki,
memecahkan masalah, disiplin diri, bersikap positif, dan tahu bagaimana
semestinya belajar.
Menurut
Gagne tingkah laku manusia sangat bervariasi dan berbeda dihasilkan dari
belajar. Kita dapat mengklasifikasikan tingkah laku sedemikian rupa sehingga
dapat diambil implikasinya yang bermanfaat dalam proses belajar. Gagne
mengemukakan bahwa keterampilan-ketrampilan yang dapat diamati sebagai
hasil-hasil belajar disebut kemampuan-kemampuan atau disebut juga kapabilitas. Gagne mengemukakan 5 macam hasil
belajar atau kapabilitas tiga bersifat kognitif, satu bersifat afektif dan satu
bersifat psikomotor. Hasil belajar menjadi lima kategori kapabilitas sebagai
berikut:
1) Informasi verbal
Kapabilitas informasi verbal
merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan secara lisan pengetahuannya tentang
fakta-fakta.
2) Ketrampilan Intelektual
Kapabilitas ketrampilan
intelektual merupakan kemampuan untuk dapat membedakan, menguasai konsep
aturan, dan memecahkan masalah. Kapabilitas intelektual oleh Gagne
dikelompokkan dalam 8 tipe belajar yaitu : belajar isyarat, belajar stimulus respon,
belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian verbal, belajar membedakan, belajar pembentukan
konsep, belajar pembentukan aturan, dan belajar memecahkan masalah.
3) Strategi Kognitif
Kapabilitas strategi kognitif
adalah kemampuan untuk mengkoordinasikan serta mengembangkan proses berfikir
dengan cara merekam, membuat analisis dan sintesis.
4) Sikap
Kapabilitas sikap adalah
kecenderungan untuk merespon secara tepat terhadap stimulus atas dasar
penilaian terhadap stimulus tersebut.
5) Keterampilan Motorik
Untuk dapat mengetahui
seseorang memiliki kapabilitas ketrampilan motorik dapat dilihat dari segi
kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot serta anggota badan yang
diperlihatkan orang tersebut.
5. Teori Belajar Van Hiele
Van
Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar
geometri, yaitu:
1) Tahap Pengenalan (Visualisasi)
Pada tahap ini anak mulai belajar mengenal suatu bentuk geometri
secara keseluruhan, namun belum mampu
mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu.
2) Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki bangun
geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat
pada bangun Geometri itu.
3) Tahap Pengurutan (Deduksi Informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan
yang kita kenal dengan sebutan berfikir deduktif.
4) Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif,
yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang
bersifat khusus.
5) Tahap Akurasi
Dalam
tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan
tahap berfikir yang tinggi, rumit, dan kompleks.
Kemajuan
tingkat berfikir geometri siswa maju dari satu tingkatan ke tingkatan
berikutnya melibatkan lima fase atau sebagai hasil dari pengajaran yang
terorganisir ke lima fase pembelajaran. Kemajuan dari satu tingkat ke tingkat
berikutnya lebih bergantung pada pengalaman pendidikan/pembelajaran ketimbang
pada usia atau kematangan. Adapun fase – fase Van Hiele tersebut digambarkan sebagai berikut ini:
Fase 1: Informasi
Melalui
diskusi, guru mengidentifikasi apa yang sudah diketahui siswa mengenai sebuah
topik dan siswa menjadi berorientasi pada topik baru itu.
Fase
2: Orientasi Terarah/Terpadu
Siswa
menjajaki objek-objek pengajaran dalam tugas-tugas yang distrukturkan secara
cermat seperti pelipatan, pengukuran, atau pengkonstruksian.
Fase 3: Eksplisitasi
Siswa
menggambarkan apa yang telah mereka pelajari mengenai topik dengan kata-kata
mereka sendiri, guru membantu siswa dalam menggunakan kosa kata yang benar dan
akurat, guru memperkenalkan istilah-istilah matematika yang relevan.
Fase 4: Orientasi Bebas
Siswa
menerapkan hubungan-hubungan yang sedang mereka pelajari untuk memecahkan soal
dan memeriksa tugas yang lebih terbuka (open-ended)
Fase 5 Integrasi
Siswa
meringkas/membuat ringkasan dan mengintegrasikan apa yang telah dipelajari,
dengan mengembangkan satu jaringan baru objek-objek dan relasi-relasi.
C.
Penerapan Teori Belajar dalam
Pembelajaran Matematika SD
1. Penerapan Teori Belajar Piaget
Contoh pembelajaran berdasar pada
teori Piaget sesuai tahap perkembangan kognitif anak usia tingkat Sekolah
Dasar.
Pokok Bahasan : Bangun Ruang.
Sub Pokoh Bahasan : 1.Kubus.
2.Balok.
3.Tabung.
4.Prisma.
5.Limas.
6.Kerucut.
7.Bola.
·
Anak sudah mulai di perkenalkan dengan pendalaman bentuk
bangun yang dia ketahui tersebut.
·
Pengelompokan bangun juga mulai hanya diperkenalkan, bahwa
kubus, balok dan yang lainnya termasuk bangun ruang.
·
Anak-anak juga berkontekstual dengan bangun-bangun tersebut
sehingga ada pemahamannya tentang apa-apa saja yang terdapat pada bangun itu.
Seperti kubus, tentu memiliki panjang, lebar dan juga tinggi.
·
Keterhubungan unsur yang dimiliki belum dijelaskan.
·
Melanjutkan pembelajaran di kelas-kelas berikutnya sampai
pada operasi-operasi sederhana yang terdapat pada bangun itu.
Penjelasan:
Sesuai
kurikulum pembelajaran tematik bangun ruang ini baru diperkenalkan dikelas II
SD, itu artinya pembelajaran-pembelajaran sebelumnya tentu masih mengacu pada
pra operasional. Dan pada pembelajaran selanjutnya di SD ini sudah memasuki
tahap Operasi Kongkret sesuai teori Piaget
2. Penerapan Teori Belajar Bruner
Contoh
pembelajaran matematika di SD yang melalui tiga tahapan Bruner, misalnya kita
akan menjelaskan operasi hitung
(pengerjaan) penjumlahan pada anak-anak SD kelas 1.
Tahap
1: Enaktif
Dimulai
dari model konkret, yaitu menggunakan benda-benda nyata
dalam hal ini “buku” seperti berikut. “Tati mempunyai 3 buku,
diberi lagi 2 buku oleh Ibunya, berapa buah banyaknya buku Tati
sekarang?”.
Tahap
2: Ikonik
Langkah
berikutnya dibuatkan modelnya, yaitu model semi konkret (model gambar) yang
tidak menggunakan benda-benda nyata seperti buku sebenarnya, tetapi cukup
dengan gambar buku atau model semi abstrak (model diagram), yang tidak lagi
dengan gambar tetapi cukup menggunakan tanda-tanda tertentu seperti turus (tally)
atau bundaran dan sebagainya.
Tahap
3: Simbolik
Pada tahap
berikutnya, siswa melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan
lambang-lambang bilangan
3
buku + 2 buku = … buku
3
+ 2 = 5
3. Penerapan Teori Belajar Dienes
Penerapan
teori belajar Dienes dalam pembelajaran matematika SD dapat dilakukan melalui permainan interaktif. Permainan
interaktif merupakan suatu permainan yang dikemas dalam pembelajaran, sehingga
anak didik menjadi aktif dan senang dalam belajar. Oleh karena itu, guru harus
menggunakan permainan sebagai media maupun pendekatan dalam belajar matematika
bagi anak.
1)
Bermain untuk
Belajar Bilangan
Topik
bilangan cacah dipelajari anak SD di semua kelas. Bilangan cacah merupakan
pengertian abstrak, jadi masih membutuhkan bantuan benda-benda konkret
untuk dapat berpikir secara abstrak. Agar anak dapat mengerti tentang bilangan
cacah, maka untuk mempelajari konsep bilangan cacah maupun operasi dan relasinya
membutuhkan bantuan manipulatif benda-benda konkret. Benda konkret dapat
dikemas sebagai alat peraga atau alat permainan. Agar anak dapat belajar dengan
senang, asyik, dan merasa bebas dalam memanipulatif benda-benda konkret tersebut,
maka kepada anak dinyatakan bahwa dengan menggunakan alat atau permainan,
mereka diajak bermain untuk belajar bilangan cacah. Karena umur maupun
kemampuan mereka yang bertingkat, maka alat atau permainan yang dipakai maupun
tingkat kesulitannya bertingkat pula.
Pada
bagian ini akan dibahas kegiatan yang menyenangkan atau permainan yang
digunakan bagi anak untuk belajar konsep bilangan cacah, konsep operasi bilangan
cacah, FPB dan KPK, yaitu permainan memasang satu-satu. Kegiatan
permainan memasang satu-satu digunakan untuk membantu memahami anak
terhadap konsep kekekalan bilangan, dan untuk membantu pemahaman
anak terhadap relasi = (sama dengan), < (kurang dari/lebih sedikit), dan >
(lebih dari/lebih banyak). Kegiatan ini diberikan di kelas satu SD. Kegiatan permainan
ini banyak ragamnya, yang dapat dipakai untuk memahami bilangan maupun
bangun-bangun geometri. Pada pembahasan ini hanya diambil beberapa contoh
yang telah dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi anak di Indonesia.
a. Alat atau Perangkat Permainan
· Untuk kegiatan klasikal: papan
flanel, kartu-kartu gambar, beberapa perangkat kartu bilangan dari
0 – 9, beberapa kartu relasi (=, <, >), serta potongan-potongan
benang nilon.
· Untuk kegiatan individual atau
kelompok kecil: benda-benda konkret dan potongan-potongan lidi.
· Untuk kegiatan memahaman
konsep kekekalan bilangan: benda-benda konkret, gambar atau
benda-benda di sekitar anak yang dapat berpasangan atau dapat
berpasangan, misalnya buku dengan pensil, rok dengan blus, celana
dengan hem, toples dengan tutupnya, ballpoint dengan tutupnya.
b. Cara membuat alat permainan
· Kartu gambar
Buat gambar yang menarik pada kertas
marmer (misalnya bintang) dengan ukuran diameter kira-kira 10 cm.
guntinglah menurut gambarnya, kemudian butlah gambar yang sama
(diblat) di kertas manila, kemudian digunting. Rekatkan ke dua
gambar. Kemudian pada kertas manila direkatkansepotong kain flanel atau spons
tipis.
· Kartu bilangan
Guntinglah kertas manila berbentuk
persegi dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Satu set kartu bilangan
membutuhkan 10 persegi, untuk menunjukkan bilangan dari 0 sampai 9.
Tulislah angka di kartu tersebut, dengan ukuran cukup besar dan
jelas. Warna tulisan bilangan dengan warna kertas manilaharus kontras
(mencolok) sehingga anak didik dapat melihat dengan jelas bilangan
yang dimaksud. Di belakang kertas manila direkatkan sepotong kain flanel.
· Kartu relasi bilangan
Untuk membuat kartu relasi
guntinglah kertas manila berbentuk persegi dengan ukuran ( 10 x 10
) cm. satu set kartu relasi membutuhkan 3 persegi yang
masing-masing untuk menyatakan =, <, dan >, perlu diingat bahwa warna
tulisan relasi dengan warna kertas manila harus kontras (mencolok)sehigga anak
didik dapat melihat dengan jelas relasi yang dimaksud. Di belakang
kertas manila direkatkan sepotong kain flanel.
c. Cara Menggunakan untuk Memahami
Relasi =, <, Dan > Secara Klasikal
Tempelkanlah dua kelompok benda pada
papan flanel. Mintalah anak untuk menghubungkan setiap satu benda
di kelompok kesatu dengan satu saja benda di kelompok kedua dengan
benang nilon sampai semua yang dapat berpasangan sudah dipasangkan. Kemudian
menempelkan kartu bilangan dan relasi yang sesuai di bawah gambar
yang telah dipasangkan satu-satu.
Agar permainan menjadi seru dan
menantang bagi anak, dapat dilakukan secara kelompok yang
beranggotakan 3 atau 4 anak, dan dipertandingkan untuk memasangkan
gambar dengan cepat dan benar. Untuk itu disediakan pasangan
kelompok benda (gambar) yang anggotanya akan dipasang satu-satu sebanyak
kelompok yang akan bertanding. Anggota kelompok secara bergantian
memasangan satu-satu, kemudian menempelkan kartu bilangan dan
relasi yang sesuai. Kelompok yang tercepat dan benar, itu yang menang.
4.
Penerapan Teori Belajar Gagne
Teori belajar Gagne dapat
diterapkan dalam proses pembelajaran di Indonesia. Ada beberapa pendekatan dan
langkah-langkah agar bisa menerapkan teori tersebut dalam proses pembelajaran.
Materi yang akan diambil adalah
pembelajaran mengenai pengenalan operasi penjumlahan serta pengurangan pada
siswa kelas rendah. Alat peraga berupa gambar lambang bilangan, gambar lambang
operasi bilangan dan media kongkrit (misal: permen, apel, pensil, wafer).
Berdasarkan konsep Sembilan
Kondisi Intruksional Gagne maka kita bisa menyusun rancangan kegiatan belajar
mengajar sebagai berikut:
1) Memperoleh Perhatian
Kegiatan ini merupakan proses
guru dalam memberikan stimulus kepada siswa dengan cara meyakinkan siswa bahwa
mempelajari materi tersebut itu penting. Hal ini bisa dilakukan melalui
pertanyaan-pertanyaan ringan seputar materi yang akan disajikan.
Contoh : mengajak siswa
berkenalan dengan bilangan dan mengetahui lambang bilangan dengan cara memulai
komunikasi dengan siswa. Guru menunjukkan alat peraga berupa gambar-gambar
lambang bilangan serta media-media yang menarik agar siswa memfokuskan diri
untuk memulai pelajaran.
2) Memberikan Informasi Tujuan
Pembelajaran
Dalam hal ini guru harus
mengupayakan untuk memberitahu siswa akan tujuan pembelajaran. Sehingga siswa
mengetahui tujuan dari materi pembelajaran yang dipelajarinya. Ini sangat penting
dilakukan agar siswa lebih termotivasi untuk bisa mencapai tujuan pembelajaran.
Contoh: guru memberikan
informasi menarik bahwa pembelajaran kali ini kita akan belajar mengenai
operasi bilangan. Guru juga mengucapkan bahwa setelah pelajaran ini siswa dapat
berhitung, sehingga besok bisa menghitung jumlah barang yang ia (siswa) miliki
baik dari pemberian barang oleh orang lain ataupun barang yang sebelumnya sudah
ia miliki.
3) Merangsang siswa untuk
mengingat kembali apa yang telah dipelajari
Upaya merangsang siswa dalam
mengingat materi yang lalu bisa dilakukan dengan cara bertanya tentang materi
yang telah diajarkan.
Contoh: guru menanyakan tentang
nama bilangan yang guru tunjukkan. Dalam hal ini guru sudah menyiapkan media
berupa gambar lambang bilangan.
4) Menyajikan stimulus
Menyajikan stimulus bisa
dilakukan dengan cara guru menyajikan materi pembelajaran secara menarik dan
menantang. Sehingga siswa merasa tertarik untuk mengikuti pembelajaran yang
sedang berlangsung.
Contoh: guru membagi siswa
kedalam 4 kelompok. Dalam pembagian kelompok ini guru juga mengajak siswa untuk
menghitung berapa jumlah teman dalam satu kelomponya. Pada tiap-tiap kelompok,
guru membagikan masing-masing 10 permen. Dalam hal ini tentu siswa sudah
bertanya-tanya, keadaan ini semakin dirangsang oleh guru dengan mengatakan
bahwa kegiatan kali ini adalah lomba menghitung. Aturan mainnya tiap anggota
kelompok bekerjasama menjawab pertanyaan guru mengenai penjumlahan dan
pengurangan yang guru lakukan menggunakan media benda. Apabila kelompok
tersebut salah maka kelompok tersebut wajib mensodaqohkan satu buah permennya
kepada kelompok lain.
5) Memberikan bimbingan kepada
siswa
Seyogyanya guru harus membimbing siswa
dalam proses belajarnya. Sehingga siswa dapat terarah dalam pembelajarannya.
Contoh: dalam proses
penghitungan/pemberian soal yang diberikan oleh guru, siswa satu kelompok
diminta untuk menghitungnya sembari guru menunjukkan jumlah bilangan tersebut.
6) Memancing Kinerja
Memantapkan apa yang dipelajari
dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari
itu.
Contoh:
guru memancing kinerja berupa mengajak berhitung siswa satu kelas tentang hasil
penghitungan yang dilakukan oleh kelompok lain.
7) Memberikan balikan
Memberikan
feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil
belajarnya benar atau tidak.
Contoh:
guru menanyakan kepada siswa sudah benar atau belum. Hal ini juga semakin
memantapkan hasil penghitungan yang dilakukan oleh siswa.
8) Menilai hasil belajar
Menilai
hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah
ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal.
Contoh:
meminta siswa menulis hasil penjumlahan yang dilakukan dalam permainan tadi
menggunakan lambang bilangan yang benar.
9) Mengusahakan transfer
Mengusahakan
transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasi apa
yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam
situasi-situasi lain. Contohnya: ajak siswa memecahkan masalah yang diceritakan
oleh guru sebelum pelajaran selesai.
5.
Penerapan Teori Belajar Van Hiele
Contoh model
pemahaman segi empat menurut Van Hiele. Segiempat terdiri dari persegi panjang,
jajargenjang, belah ketupat, layang – layang, dan trapesium.
a.
Persegi
1. Keempat sisinya sama panjang
2. Keempat sudutnya sama besar
b. Persegi panjang
1.
Sisi yang berhadapan sama panjang
2.
Keempat sudutnya sama besar
c. Belah ketupat
1.
Keempat sisinya sama panjang
2.
Sudut yang berhadapan sama panjang
d. Jajar genjang
1.
Sisi yang berhadapan sama panjang
2.
Sudut yang berhadapan sama besar
e. Trapesium
1.
Satu pasang sisi yang berhadapan sejajar.
f. Layang-layang
1.
Dua pasang sisi yang tidak berhadapan sama panjang
2.
Satu pasang sudut yang berhadapan sama besar.
Pembelajaran yang Dilaksanakan pada
Setiap Fase Pembelajaran
1.
Aktivitas yang dilaksanakan pada
fase 1 (Informasi)
a.
Dengan memakai gambar bermacam-macam bangun segiempat, siswa
diinstruksikan untuk memberi nama masing-masing bangun.
b.
Guru mengenalkan kosa kata khusus, seperti: simetri lipat,
simetri putar, sisi berhadapan, sudut berhadapan, dan sisi sejajar.
c.
Dengan metode tanya jawab, guru menggali kemampuan awal
siswa.
2.
Aktivitas yang dilaksanakan pada
fase 2 (Orientasi)
1)
Siswa disuruh membuat suatu model bangun segiempat dari
kertas.
a.
Dengan menggunakan model bangun tersebut serta kertas
berpetak siku-siku, siswa diintruksikan untuk menyelidiki:
a)
Banyaknya sisi berhadapan sejajar
b)
Sudut suatu bangun siku-siku atau tidak
b.
Dengan menggunakan suatu model bangun, siswa diminta untuk
melipat model bangun tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menemukan sumbu
simetri. Selanjutnya siswa diinstruksikan untuk menyelidiki banyaknya sumbu
simetri yang dimiliki oleh suatu bangun.
c.
Melipat model tersebut pada diagonalnya, kemudian
menempatkan yang satu di atas yang lain. Siswa diminta menyelidiki banyaknya
pasangan sudut berhadapan yang sama besar.
d.
Memotong objek yang berdekatan, kemudian menempatkan salah
satu sisi potongan pertama berimpit dengan salah satu sisi potongan yang kedua.
Siswa diminta untuk menyelidiki apakah sudut yang berdekatan membentuk sudut
lurus.
e.
Memotong semua pojoknya dan menempatkan potongan-potongan
tersebut sedemikian rupa sehingga menutup bidang rata. Selanjutnya siswa
diminta untuk menyelidiki apakah keempat sudut itu membentuk sudut putaran.
1)
Siswa diintruksikan untuk mengukur panjang sisi-sisi suatu
segiempat.
2)
Siswa diintruksikan untuk mengukur diagonal suatu segi
empat.
3.
Aktivitas yang dilaksanakan pada
fase 3 (Penjelasan)
Siswa diberi bermacam-macam potongan
segiempat. Mereka diminta untuk mengelompokkan segiempat berdasarkan
sifat-sifat tertentu, seperti:
a.
Segiempat yang mempunyai sisi sejajar
b.
Segiempat yang mempunyai sudut siku-siku
c.
Segiempat yang mempunyai sisi sama panjang
4.
Aktivitas yang dilaksanakan pada
fase 4 (Orientasi Bebas)
Dengan menggunakan potongan
segitiga, siswa diminta untuk membentuk segiempat, dan menyebutkan nama segi
empatyang telah terbentuk.
5.
Aktivitas yang dilaksanakan pada
fase 5 (Integrasi)
Siswa dibimbing untuk menyimpulkan
sifat-sifat segiempat tertentu, seperti:
a)
Sifat persegi adalah ….
b)
Sifat persegi panjang adalah ….
c)
sifat belahketupat adalah ….
d)
Sifat jajargenjang adalah ….
e)
Sifat layang-layang adalah ….
f)
Sifat trapezium adalah ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar